Beranda > Artikel, Risalah > ‘Awas, Daging Ulama itu Beracun’

‘Awas, Daging Ulama itu Beracun’

Banyaknya hujatan dan vonis yang dialamatkan kepada para ulama menjadi suatu fenomena yang menyedihkan dewasa ini. Ulama yang disebut oleh Rasulullah sebagai pewaris para nabi justru diperlakukan tidak sebagaimana mestinya.

Keprihatinan itu disampaikan dosen Ma’had ’Aly Isy Karima, Karangpandan, Karanganyar, Ustad Eman Badru Tamam, Lc dalam kajian Riyadhus Shalihin di Masjid Istiqomah, Penumping, Solo, Rabu (22/02) malam.

”Sekarang banyak sekali halaqoh dan majelis yang isinya adalah membentuk komentator-komentator Ulama. Nggak mau membaca bukunya, karyanya, tulisannya, karena sudah ditanamkan kebencian terlebih dahulu. Jadi membatasi (belajar) hanya pada ulama tertentu,” katanya.

Lebih memprihatinkan lagi bahwa ternyata para pencela ulama itu adalah mereka-mereka yang baru saja mengawali perjalanan untuk memahami agama Islam dengan lebih mendalam.

“Mulai belajar membaca karya-karya ulama, kemudian dipilih yang salah-salahnya terus ditulis menjadi judul buku, ’kesalahan syekh fulan’. Ini banyak sekali. Loh kok rajin banget nyari kesalahan orang. Sampai ditulis buku khusus,” tanyanya.

Padahal, menurut Ustad Badru, ulama adalah orang yang telah mendapatkan rekomendasi dari Rasululloh sebagai pewaris ilmu dan perjuangan para nabi. Bahkan, dalam sebuah hadis qudsi, Allah ta’ala juga mengancam kepada mereka yang menyakiti para wali Allah dengan peperangan.

Wali yang dimaksud dalam hadis itu salah satunya adalah ulama. Bukan sebagaimana bayangan kebanyakan orang bahwa wali adalah orang yang memiliki kemampuan di luar nalar manusia dan menjurus pada takhayul dan kemusyrikan.

“Ulama yang saya maksudkan adalah ulama yang beramal dengan ilmunya dan takut terhadap Robnya,” jelasnya.

Ustad Badru menambahkan, kalaupun ada kekeliruan yang dilakukan oleh ulama, cukup diluruskan dengan kritik ilmiah, bukan dengan hujatan. Ulama, kata alumnus Universitas Islam Madinah itu, adalah manusia biasa yang pada satu saat bisa saja salah. Namun, kesalahan itu tidak dapat menjadi alasan untuk memberikan komentar negatif kepada ulama yang bersangkutan.

“Pantaskah kalau ada seorang penuntut ilmu pemula sedang mengawali tafaquh fiddinnya (memperdalam ilmu agama, red) kemudian sudah berani memberikan komentar-komentar negatif bahkan sampai vonis, mengatakan ulama fulan ahli bid’ah, ulama fulan ahlul ahwa’,” tanyanya retoris.

Adapun terhadap para ulama suu’ (ulama yang jahat atau buruk) seperti para cendekiawan dari kalangan kaum liberal, maka sikap tegas perlu ditunjukkan. Pasalnya, ulama semacam ini hanyalah akan merusak paham keislaman kaum Muslimin.

Kepada kaum Muslimin, mengutip perkataan Imam Ibnu Asakir, ustad Badru memberikan nasehat supaya menjauhi perbuatan mencaci para ulama. Apalagi bagi seorang penuntut ilmu yang masih mengawali perjalanan dalam memperdalam agama.

“Ketahuilah sesungguhnya daging ulama itu beracun. Dan kebiasaan Allah adalah menyingkap aib atau aurat orang yang biasa membongkar aibnya para ulama. Barangsiapa melepaskan ucapannya terhadap para ulama dengan mencelanya, maka Allah akan timpakan sebelum kematiannya dengan matinya hati,” demikian nasehat Imam Ibnu Asakir seperti dinukil Imam An-Nawawi (muslimdaily/nsr/rds)

Kategori:Artikel, Risalah
  1. Belum ada komentar.
  1. No trackbacks yet.

Tinggalkan komentar